Profil

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Seorang penikmat dunia dan hidup untuk menikmati dunia. dan seorang yang selalu ingin bercinta dengan harmonica

HUKUM ACARA PIDANA


ISTILAH, PENGERTIAN dan SISTEM
Dibagian terakhir Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu Pasal 285, terdapat nama resmi yang berbunyi : undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terdapat sedikit kecanggungan di situ karena undang-undang dinamai “kitab”. Mestinya kodifikasinya yang diberi nama kitab. Jadi, mestinya :”Kodifikasi ini dinamai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”.
Jika memang KUHAP adalah kodifikasi hokum acara pidana di Indonesia, maka seharusnya tidak ada lagi acara pidana lainnya dan hukum adat sebagai acara pidana. Menyangkut dengan kaitan KUHAP sebagai legi generali dan acara pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP itu sebagai lex speciali, maka juga KUHAP juga kurang khususnya pada pasal buntutnya. Di situ terdapat ketentuan yang berbunyi :”KUHAP berlaku juga sebagai hukum acar bagi perundang-undangan di luar KUHP kecuali undang-undang yang bersangkutan menyimpang.”
Hukum acara pidana dapat dikatakan memiliki ruang lingkup yang sempit, karena hanya mencari kebenerana, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana.
Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai peninjauan kembali.
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai penganti Inlandsch Reglement berlaku sesudah kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan UU No. 1 (drt) Tahun 1951, tetapi hanya meliputi acara pemeriksaan di pengadilan negeri saja.
Definisi Van Bemmelen dalam merinci substansi hukum acara pidana sebagai berikut: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut:
  1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
  2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
  3. Mengambik tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipembuat dan kalau perlu menanhannya.
  4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
  5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata terbit.
  6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
  7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidanan dan tindakan tata tertib.”
Jika dilihat pada rumusan di atas maka dapat ditunjukkan bahwa no.1 s/d no.4 adalah tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, no.5  berarti pemeriksaaan dan putusan hakim, dan pada no.6 dan no.7 adalah upaya hukum tersebut dan eksekusi.
Pakar Hukum Indonesia, yaitu Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa : “ Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”
Tujuan dari hukum acara pidana yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah untuk mencari dan medapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakan pelaku yang dapar didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula saksi-saksi yang diajukan kedua pihak..
Berikut adalah tiga fungsi hukum acara pidana menurut Van Bemmelen, yaitu :
  1. Mencari dan menemukan kebenaran.
  2. Pemberian keputusan oleh hakim
  3. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutunya. Menurut undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Tahun 2004, Pasal 36 ayat (4)) pelaksanaan keputusan terbut harus berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan.
Hukum pidana dalam arti luas terdiri atas hukum pidana (subsatansif atau materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).  Sifat public hukum acara pidana karena yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana adalah negara (melalui alat-alatnya). Lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntut pidana dimonopoli oleh negara (jaksa).
Asas Legalitas dalam hukum acara pidana sebagai padanan asas legalitas dalam hukum pidana materiil. Jadi, bukan asas lehalitas sebagai lawan asas oportunitas yang akan diuraikan tersendiri di belakang.
Berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi : “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya. Cortens mengatakan “hukum pidana materiil bisa bersifat lokal tetapi hukum acara pidana berdifat nasional.” Sengaja dikutip Pasal 1 KUHP karena padanannya dalam KUHAP Indonesia, yaitu Pasal 3 salah susun. Dikatakan : Peradilan dijalankan berdasarkan undang-undang ini. Dikatakan keliru karena dikatakan “peradilan” yang mestinya termasuk peradilan perdata, TUN, niaga, dll. Jadi mestinya istilah yang dipakai ialah “pidana” atau “acara pidana”.
Berikut asas-asas penting dalam hukum acara pidana :
1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Pencantuman peradilan cepat di dalam KUHAP cukum banyak yang diwujudkan dengan istilah “Segera”. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasan Kehaminan.
Peradilan cepat bertujuan untuk mengindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim, merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal dalam KUHAP, antara lain :
  1. Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4) dan 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan eperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Karena dalam
  2. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan(1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum(2), segera diadili oleh pengadilan(3).
  3. Pada pasal 102 ayat (1) megnatakan penyidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patutu diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
  4. Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi penyidik.
  5. Pasal 107 ayat (3) megatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
  6. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata segera. Begitu pula Pasal 138.
  7. Pasal 140 ayat (1) dikatakan : “ Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
2. Praduga Tidak Bersalah (      Presumption of Inocence)
Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga penjelasan umum butir 3c KUHAP yaitu : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperloeh kekuatan hukum tetap.”
3. Asas Oportunitas
Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum di Indonesia disebut Jaksa (Pasal 1 butir a dan b dan Pasal 137 dan seterusnya di KUHAP). Wewenang penuntut dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan. Hal ini disebut dominus litis ditangan jaksa.
A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas opurtunitas sbb : “Asas hukum memberikan wewenang dengan atau tanpa syatat seorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.” Pasal 35c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejakasaan RI dengan tegas mengatur asas oportunitas, pasal tersebut berbunyi “ Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”
3. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untu Umum
Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sbb : ayat (3)“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding membuka siding dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Dan ayat (4) “Tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengeakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Melalui pertimbangan yang didasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, saksi hakim dapat memutuskan untuk melaksanakan persidangan tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarga. Misalnya dalam kasus perkosaan.
5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) dengan tegas mengatakan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Terdapat dalam UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 31.
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Hal ini telah menjadi ketentuan universal di negara demokrasi dan beradab.. dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapatkan kebebasan yang sangat luas.


8. Asas Akusator dan Inkisitor
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Asas inkisitor berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaaan pendahuluan.
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi, diatur dalam Pasal 154,155 KUHAP. Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah menemukan kebenaran materiil. Untuk mencapai tujuan ini hukum pidana dan acara pidana dibantu dengan ilmu-ilmu lainnya seperti :
  1. Logika
  2. Psikologi
  3. Kriminalistik
  4. Psikiatri
  5. Kriminologi
Selain ilmu pembantu, acara pidana juga memiliki sumber-sumber formal yang terdiri dari :
  1. UUD 1945 pada pasal 24 dan 25, Penjelasan Pasal 24 dan 25 dan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
  2. Undang-Undang

PIHAK YANG TERLIBAT DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Dalam suatu perkara pidana terlibat beberapa pihak. Diantara pihak-pihak yang saling berhadapan itu terdapat hakim yang bersifat netral. Sistem saling berhadapan ini disebut Sistem pemeriksaan Akusator.
Dalam sistem berhadapan ini, ada pohak terdakwa yang di belakangnya terdapat penasihat hukumnya, sedangkan dipihak lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana. Di belakang penuntut umum ada polisi yang memberi data hasil dari penyidikan.
Saksi dalam acara pidana biasanya terbagi tiga, yaitu “
  1. Saksi yang memberatkan terdakwa ( a charge) diajukan oleh penuntut umum
  2. Saksi yang meringankan terdakwa (a de charge), diajukan oleh terdakwa
  3. Saksi yang tidak memberatkan dan tidak meringankan terdakwa (saksi ahli)
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding pengadilan.
Perihal tentang perumusan KUHAP tentang kata patut diduga. Biasanya yang menafsirkan patut diduga melakukan perbuatan delik ialah penyidik dan penuntut umum dan penilaian tersebut juga harus bersifat objektif., jika dalam hal tersebut penyidik atau penuntut umum tidak bersifat objektif dan mengakibatkan seseorang dipandang melakukan delik, padahal tidak maka penyidik dan penuntut umum tersebut dapat diancam pidana melanggar kemerdekaan orang. Baik sengaja maupun kulpa.
Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68.
Selain tersangka dan terdakwa dalam acara perdata juga ada pihak yang dinamakan Penuntut Umum yang mempunyai tugasa khusus untuk atas nama negara atau masyarakat yang mengadakan tuntutan pidana terhadap pelaku delik. Berasal dari Perancis, dan masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848.
Penyidik dan Penyelidik yang menurut Pasal 1 butir 1 Penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan pada butir ke-4 mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan. Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan dua macam badan yang berwenang melakukan dan/atau diberi tugas penyidikan, yaitu “
  1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia
  2. Pejabat pegawai sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU.
Penyidik dari kepolisian diangkat oleh Kapolri yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.
Penyidik dari pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahkan pegawai tersebut.
Penasihat Hukum dan Bantuan Hukum istilah ini adalah istilah baru, sebelumnya dikenal sebagai pembela, advokat, procureur dan pengacara, istilah penasehat hukum dan bantuan hukum dirasa lebih tepat dan  sesuai dengan fungsinya sebagai pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan.
Etika seorang penasihat hukum atau advokat tercantum dalam Pasal 39 UUPKK tahun 20004 yang berbunyi : “ dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 37, adokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.” Ketentuan ini berarti penasihat hukum atau advokat tidak boleh mengganggu penyelesaian perkara, misalnya mengulur-ulur waktu, melakukan bantahan atau eksepsi yang mengada-ada.

HAKIM DAN KEKUASAAN HAKIM
Pasal 24 UUD setelah amandemen ke-4 berbunyi  :
1.      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan TUN dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
3.      Badan-bandan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang.
Hakim yang tidak memihak merupakan fundamen dari suatu negara hukum. Untuk menjamin agar hakim itu tidak memihak maka dalam UU tentang Mahkamah Agung (UU No.14 Tahun 1985) pada Pasal 10 dikatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi :
1.      pelaksana putusan Mahkamah Agung;
2.      Wali pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
3.      Penasihat hukum
4.      Pengusaha.
Disamping peradilan umum, dikenal pula peradilan tentara(militer), peradilan agama, dan peradilan TUN.
Tugas peradilan dalam perkara pidana adalah mengadili semua delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan kepadanya untuk diadili.
Ada dua macam kekuasaan mengadili, biasa disebut juga kompetensi, yaitu :
1.      Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili, kepada suatu macam pengadilan, bukan pada pengadilan lain
2.      Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili diatara satu macam.

PENYELIDIKAN dan PENYIDIKAN
Penyidikan dalam KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menenetukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidik menurut cara yang diatur undang-undang ini.” Biasanya dikerjakan oleh kepolisian bagian reserse.
Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris). KUHAP mendefinisikan penyidikan sebagai berikut : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidanan yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah :
  1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
  2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
  3. Pemeriksaan di tempat kejadian.
  4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
  5. Penahanan sementara.
  6. Penggeledahan.
  7. Pemeriksaan atau interogasi.
  8. Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat).
  9. Penyitaan.
  10. Penyampaian perkara.
  11. Pelimpahaan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Diketahuinya Tejadinya Delik dari empat kemungkinan yaitu :
  1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP).
  2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP).
  3. Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).
  4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terrjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, medengar radio atau orang bercerita dan selanjutnya.
Pemeriksaan di Tempat Kejadian sering dilakukan tertutama pada delik tertangkap tangan. Pemriksaan di tempat kejadian pada umumnya dilakukan karena terjadi delik yang mengakibatkan kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal terjadinya kematian atau kejahatan seksual sering dipanggil dokter untuk mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian diatur dalam Pasal 7 KUHAP.
Pemanggilan Tersangka dan Saksi  diatur dalam KUHAP  Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) karena kewajibannya mempunyai wewenang “ memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.” (Pasal 7 ayat (1) butir g).
Jika yang dipanggil tidak mau datang tanpa alasan yang dapat diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 216 KUHP. Kalau pemanggilan itu untuk menghadap di siding pengadilan saksi tidak mau datang tanpa alasan yang diterima, maka ia dapat dipidana menurut Pasal 522 KUHP.

PENANGKAPAN dan PENAHANAN
Penangkapan jangka waktu tidak lama, dalam hal ini tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung atara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Dan untuk kepentingan penyidikan, maka polisi atau penyidik dapat melakukan penahanan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.
Pasal 1 butir 20 KUHAP definisi penangkapan adalah sebagai berikut :”Penangkapan adalah suatu tindakan penyidikan berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam uu ini.”
Penahanan adalah salah satu bentuk peramasan kemerdekaan bergerak sesorang. Disini terjadi pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia dengan asas yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan kejahatan tersangka.
Apabila memang perlu dilakukan penahanan, maka orang yang ditahan harus lebih dulu diduga keras telah melakukan salah satu delik tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
Pejabat yang Bewenang Menahan dan Lamanya Penahanan
Dalam KUHAP ditentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan, yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim pengadilan negeri, tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 20 s/d Pasal 31 KUHAP).
Pengecualian tentang penahanan yang diatuar dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, 25,26,27,28 guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakawa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, seperti :
  1. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
  2. perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan Pasal 29 ayat (3) berbeda dengan yang berwenang memperpanjang yang biasa, dalam ayat ini ditentukan bahwa :
  1. pada tingkat penyidik dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
  2. pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
  3. pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
  4. pada tingkat kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dalam hal wewenang perpangjang penahanan tersebut KUHAP memberi barasan :
  1. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi, pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung (Pasal 29 ayat (7) KUHAP).
  2. Tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan 96, apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, 25, 26, 27, 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, kurang tepat, karena bukan tenggang waktunya yang tidak sah,tetapi dasar hukumnya atau cara melakukannya.
Bentuk Penahanan tmenurut HIR adalah penahanan di rumah tahanan atau penjara, sedangkan menurut KUHAP Pasal 22 mengenai selain penahanan di rumah tahanan negara, dikenal pula penahanan rumah dan penahanan kota.

PENGGELEDAHAN dan PENYITAAN
Menggeledah dalam rangka penyidikan suatu delik menurut hukum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seseorang.
Penyidik harus betul-betul cermat dan mengikuti ketentuan-ketentuan tentang cara melakukan penggeledehan itu, agar terhindar dari pelanggaran ketentuan KUHP.  Dalam KUHAP, ditentukan bahwa penyidik atau anggota kepolisian yang dipertintahkan olehnya yang boleh melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang (Pasal 33 ayat (1)).
Penyitaan dalam KUHAP Pasal 1 butir 6 memberi penyitaan sbb : “ Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidikan untuk mengambil alih/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradialan. Guna kepentingan acara pidana penyitaan dirasa penting untuk dilakukan, dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang (Pasal 38 (1) KUHAP). Biasanya benda yang disita adalah benda yang dipergunakan untuk melakukan delik. Suatu inovasi lain dalam KUHAP ialah bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana jika dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 di muka (Pasal 39 ayat (2) KUHAP). Dalam hal penyitaan yang bertanggungjawab adalah pejabat yang berwenang menurut tingkat pemeriksaan dan tidak boleh dipergunakan oleh siapa pun juga. Kemudian perlu diketahui juga kapan suatu penyitaan itu berakhir menurut hukum acara pidana :
  1. Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim.
    1. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
    2. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau tidak merupakan delik.
    3. Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan utnuk melakukan suatu delik.
  2. Penyitaan berakhir setelah putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali kalau benda tesebut menurut keputusaan hakim dirampas oleh negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan ;agi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara lain (Pasal 46 ayat (2) KUHAP).
PENUNTUTAN, SURAT DAKWAAN, PRAPERADILAN
Penuntutan seperti dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.
Surat Dakwaan dalam perdata disebut dengan surat gugatan, dalam perkara pidana disebut surat dakwaan, dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat-syarat dakwaan, sbb :
surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a.       Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b.      Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Praperadilan menurut KUHAP tidak mempunyai wewenang luas. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Acara praperadilan yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan/atatu rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut :
a.       Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetap hari siding.
b.      Dalam memeriksa dan memutuskan tentang saha atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentiana penyidikan, atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahknya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendenganr keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
c.       Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan.

SISTEM atau TEORI PEMBUKTIAN
Sistem atau Teori Pembuktian digunakan dalam mencari kebenan materiil dibagi atas:
a.       Bedasarkan UU Secara Positif
      Pembuktian ini berdasarkan sistem atau teori perundang-udangan secara positif. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai alat-alat bukti yang disebutkan dalam UU, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Disebut juga teori pembuktian formal.
b.      Bedasarkan Keyakinan Hakim Melulu
      Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
c.       Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
            Disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.
d.      Berdasarkan UU Secara Negatif
      Pasal 183 KUHAP berbunyi : “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengna sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

ALAT-ALAT BUKTI dan KEKUATAN PEMBUKTIAN
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah :
  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah :
  1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
  2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Saksi Mahkota sering kali disalah artikan di Indonesia, seakan-akan para terdakwa dalam hal ikut serta perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi mahkota. Ini merupakan kekeliruan besar, saksi mahkota di pengadilan Netherland adalah salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatannya.

PUTUSAN HAKIM
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1.      Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;
2.      Putusan bebas;
3.      putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putsan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah :
1.      Kepala putusan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
2.      nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
3.      dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
4.      pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
5.      tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
6.      pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putsan, disertai keadaan yang menberatkan dan meringankan terdakwa;
7.      hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
8.      pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
9.      ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebut jumlahnya yang pasati dan ketentuan mengenai barang bukti;
10.  keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggal palsu;
11.  perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
12.  hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim, yang memutuskan dan nama panitera.
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

** berkatalah dengan bijak

Shoutbox Chat