Profil

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Seorang penikmat dunia dan hidup untuk menikmati dunia. dan seorang yang selalu ingin bercinta dengan harmonica

HUKUM ACARA PERDATA


Hukum Acara Perdata
Di dalam kehidupan bermasyarakat tiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Adakalanya kepentingan mereka itu saling bertentangan yang dapat menimbulkan suatu sengketa. Karena hal itu dirasakan perlu mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap masyarakat.
Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud kepentingan itu adalah hak-hak dan kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum perdata materiil. Hukum acara perdata juga disebut sebagai hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi yang melanggar disebut tergugat. Apabila banyak penggugat atau tergugat maka mereka disebut penggugat atau tergugat I, penggugat atau tergugat II, dst. Menurut Yurispudensi, gugatan cukup ditujukan kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa (putusan MA 1 Agustus 1983 No. 1072 K/Sip/1982). Hukum acara perdata mula-mulanya bersifat mengatur, namum apabila sudah digunakan maka sifatnya berubah menjadi memaksa.
Hukum Acara Perdata Nasional hingga saat ini masih belum diatur di uu terlihat dari belum disahkannya rancangan uu tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum yang telah disahkan oleh siding pleno B.P. L.P.H.N ke 13 tanggal 12 Juni 1967. kaedah hukum acara perdata sampai saat ini masih terbagi-bagi dalam :
  1. Het Herziene Indonesisch Reglament (HIR), berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura;
  2. Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.) berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia;
  3. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
  4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
  5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
  7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tentang Perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya;
  8. Undang-Undang No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulang.
Permohonan dan Gugatan
Perbedaan antara permohonan dan gugatan bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar. Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa. Disini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasa sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya disebut declaratoir, yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Contoh permohonan yang banyak diajukan di pengadilan negeri : pengangkatan anak angkat wali, pengamu,perbaikan akta catatan sipil, dll.
Dalam mengajukan gugatan perlu diperhatikan dalam mengajukan gugatan harus kepada badan pengadilan yang benar-benar berwenang. Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan, yaitu :
  1. wewenang mutlak atau absolute competentie;
  2. wewenang relative atau relative competentie.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht). Lawan dari wewenang mutlak adalah wewenang relative, yang menentukan pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Wewenang relative mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat (distributie van rechtsmacht). Asasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat tinggal tergugat.”
Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Dalam praktek surat ini dinamakan surat gugat atau surat gugatan. Oleh karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajikan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili perkara (Pasal 120 HIR).
Pengertian Gugur dan Perstek
Jika waktu persidangan salah satu dari kedua pihak yang berperkara tidak hadir atau tidak diwakilkan kehadirannya maka berlaku acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR.
Persoalan perstek diatur dalam pasal 125 HIR, perstek adalanya pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Perstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat tidak datang menghadap pada siding yang pertama dan apabila perkara diundur sesuai dengan pasal 126 HIR.
Dalam pasal 125 HIR menentukan bahwa putusan perstek yang mengabulkan gugat diharuskan adanya persyaratan-persyaratan sbb :
  1. tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari siding yang telah ditentukan;
  2. ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap;
  3. ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut;
  4. petitum tidak melawan hak;
  5. petitum beralasan.
Ketetentuan pasal 126 HIR memberi kebebasan pada hakim, apabila ia menganggap perlu, untuk apabila pada sidang pertama baik penggugat atau tergugat kesemuanya atau salah seorang dari mereka tidak datang, mengundurkan siding dan memerintahkan untuk memanggil pihak atau pihak-pihak yang tidak datang sekali lagi.
Kebebasan yang diberikan kepada hakim untuk mengundurkan sidang termuat dalam pasal 126 HIR berarti bahwa tidak ada keharusan untuk menjatuhkan suatu putusan perstek atau putusan gugur, meskipun pihak tergugat kesemuanya atau penggugat kesemuanya tidak datang. Pasal 127 HIR menegaskan, bahwa apabila pada sidang yang pertama, salah seorang tergugat tidak datang, pula tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakilny, maka pemeriksaan perkara ditangguhkan pada hari persidangan lain, sedapat-dapatnya jangan terlampau lama.
Menurut ayat 1 pasal 129 HIR perihal mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek, yang dapat mengajukan perlawanan adalah tergugat atau para tergugat yang dihukum dengan putusan tidak hadir dan tidak menerima putusan tersebut.
Perdamaian
Perdamaian dalam sengketa bisa melalui pihak ketiga yang menjadi orang yang mendamaikan sebelum perkara diajukan ke persidangan. Selain itu cara untuk berdamai adalah selama perkara tersebut sedang diperiksa dan perdamaian dilakukan di depan hakim. Menurut ketentuan ayat 1 pasal 130 HIR, hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan tinggi. Apabila hakim berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, lalu dibuatlah akta perdamaian dari kedua berlah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut. Oleh karena perdamaian bersifat “mau sama mau” dan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak, maka terhadap putusan perdamaian itu menurut ketentuan ayat 3 pasal 130 HIR, yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
Pasal 134 HIR mennyangkut eksepsi mengenai kekuasaan absolute, ialan eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu, dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk kewenangan pengadilan negeri, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain. Perihal gugat-mengguat, gugat balasan, gugat balik atau gugat dalam rekonpensi, diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b HIR. Kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat, apabila ia atau mereka kehendaki, dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan/gugat balik terhadap penggugat.
Pada asasnya gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebutkan dalam pasal 132a HIR, yaitu :
1.      jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat, sedang gugat balasan itu mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
2.      jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asla itu dimasukkan, tidak berhak, oleh karena behubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan;
3.      dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan;
4.      jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimasukan gugat balasan, maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balasan.
Dalam hal perubahan atau penambahan gugat diperkenankan, kepada pihak tergugat hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk membela diri dengan sebaik-baiknya. Apabila perubahan atau penambahan gugat sama sekali tidak diperkenankan, maka pihak penggugat akan “dipaksa” untuk membuat gugat baru, dengan pengeluaran-pengeluaran biaya baru.
Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti. Dalam soal pembuktian hakim diharuskan bertindak arif dan bijaksana dan bersifat netral.
Menurut Prof.Mr.A.Pito  dalam bukunya “Bewijs En Verjaring Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek”  mengatakan bahwa tidaklah termasuk dalam “notoire feiten” itu peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang bersangkutan, atau ia menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaan.
Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana, hukum acara perdata untuk memenangkan sesorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim, yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat buktu tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan kata lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Bukti-bukti yang dapat dihaturkan dalam persidangan menurut pasal 164 HIR, yaitu :
  1. bukti surat;
  2. bukti saksi;
  3. persangkaan;
  4. pengakuan;
  5. sumpahan.
Dalam praktek masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering digunakan, yaitu “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang.
Bukti surat diatur dalam pasal 137 HIR yang berbunyi : “Kedua belah pihak boleh timbale balik menuntut melihat surat keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan kepada hakim.” Pasal tersebut memungkinkan kepada kedua belah pihak untuk minta dari pihak lawan agar diserahkan kepada hakim surat-surat yang berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa agar ia dapat meyakinkan isi surat-surat tersebut, serta memeriksa apakah ada alasan untuk menyangkal keabsahan surat-surat tersebut. Dalam proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang paling penting dan utama, dalam hukum perdata mengenal 3 jenis surat, yaitu :
  1. surat biasa;
  2. surat otenti;
  3. akta di bawah tangan.
Perbedaan ketiga surat diatas adalah dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, itu tergantung dari cara pembuatannya. Surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti dan menjadi suatu kebetulan apabila surat itu dijadikan suatu bukti. Berbeda dengan surat biasa, akta dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti. Tetapi akta belum tentu bisa dipergunakan sebagai bukti di persidangan, akan tetapi suatu akta merupakan bukti bahwa peristiwa hukum telah dilakukan. Kwitansi, faktur merupakan akta, yang tergolong dalam akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan dan akta otentik dibuat berlainan.
Pasal 165 HIR memuat suatu defini apa yang dimaksud dengan akta otentik, yang berbunyi : “Akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu.”
Pendapat sekarang yang banyak dianut adalah, bahwa akta otentik tidak hanya membuktikanbhwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar. Akta otentik juga mempunyai kekuatan formil dan materiil. Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materiil, bahwa apa yang diterangkan adalah benar.
Dari yang dikemukan di atas jelas bahwa akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yakni :
  1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
  2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
  3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum dan menerangkan apa yang ditulis didalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut tiga kekuatan pembuktian di atas, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).
Pembuktian dengan saksi dalam praktek disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata hal tersebut sangat penting artinya, terutama dalam perjanjian dalam hukum adat. Dalam hukum adat dikenal 2 macam saksi, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa yang menjadi persoalan dan saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu adalah tugas hukum. Saksi yang akan diperiksa atau dimintai keterangannya sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya. Peraturan yang menyangkut perihal cara mengucapkan sumpah atau janji terdapat dalam Eedsregeling dari Stbl. 1920 No. 69. ketentuan dalam pasal 5 tersebut memperkenankan untuk mengucap janji bagi mereka yang menurut agamanya dilarang utnuk mengucapkan sumpah. Dalam pasal 145 HIR diatur mengenai siapa saja yang dapat memberikan kesaksian, yaitu :
a. Yang tidak dapat memberikan kesaksian :
  1. keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak;
  2. suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai;
  3. anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun;
  4. orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
b. Akan tetapi keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil daripada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
c. Orang yang tersbut dalam pasal 146 (1) a dan b, tidak berhak minta mengundurkan diri daripada memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat di muka.
d. Pengadilan negeri berkuasa akan mendengat di luar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang terang ingatannya, yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan.
Menurut pasal 146 (1) HIR yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian adalah :
  1. sudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak;
  2. keluarga sedarah menurut keterunan lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak;
  3. sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan syah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.
Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikanya dengan persangkaan-persangkaan. Dipakai kata persangkaan-persangkaan karena dinilai satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling menutupi,berhubungan, sehingga peristiwa/dalil yang disangkal itu misalnya, dapat dibuktikan.
Perkataan “persangkaan” dalam pasal 163 HIR oleh karena adalah kurang tepat, seharusnya adalah persangkaan-persangkaan. Persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana. Adalah kurang tepat untuk mencampurbaurkan kedua pengerian ini; dalam hukum acara perdata harus dipakai perkataan persangkaan dan bukan petunjuk. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditari dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalaah hakim atau undang-undang.
Dalam HIR pasal 174,175,176 mengatur perihal pengakuan.  Pengakuan adalah dalil yang sudah tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi dalil-dalil yang disangkal lawan perlu dibuktikan.
Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu :
  1. pengakuan yang dilakukan di depan sidang;
  2. pengakuan yang dilakukan di luar persidangan.
Pengakuan yang dilakukan di depan sidang baik yang diberikan oleh yang bersangkutan sendiri maupun oleh kuasanya, merupakan bukti yang sempurna dan mengikat. Pengakuan di depan sidang tidak boleh ditarik kembali. Pengecualian terhadapa asas itu ialah, apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
Pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis maupun lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak bahwa pengakuan di luar sidang secara terlutis tidak usah dibuktikannya lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang bagi pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara lisan apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya pengakuan semacam iyu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti lainnya. Selain pengakuan bulat atau murni, di dalam hukum acara perdata juga dikenal pula pengakuan berembel-embel, yaitu :
  1. pengakuan dengan lausula;
  2. pengakuan dengan kwalifikasi.
Perihal tentang sumpah diatur dalam HIR pasal 155,156,158,177. berbeda dengan perkara pidana yang tidak mengenal sumpah sebagai alat bukti, dalam hukum acara perdata sumpah merupakan alat bukti yang cukup penting. Yang disumpah adalah salah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri.
Ada 2 macam jenis sumpah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan.
Tindakan Sebelum dan Selama Sidang
HIR mengatur cara pemanggilan pihak-pihak, petugas dan kewajibannya diatur dalam pasal  388, 390, 391, 392.
Pada asasnya putusan dalam acara perdata tidak dilaksanakan menunggu sampai ada putusan dari Mahkamah Agung, mengakibatkan proses dapat berjalan bertahun-tahun. Mengingat hal itu, apabila tidak dikenal akan adanya lembaga sita jaminan, bagi penggugat yang telah dimenangkan perkaranya pada akhirnya merupakan pihak yang “kalah” karena selama proses berlangsung ia telah mengeluarkan banyak biaya perkara, sedangkan apa yang ia tuju tidak mendapat hasil, bahkan sampai biaya perkara yang telah dikeluarkan, juga tidak dapat diganti. Oleh karena itu hukum acara perdata mengenal adanya lembaga sita jaminan. Sita jaminan mengandung arti, bahwa untuk menjadimi pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari, atas barang-barang mili tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan lain perkataan bahwa terhadap barang-barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain.
Putusan Hakim
Dalam acara perdata ada 2 macam golongan putusan, yaitu putusan sela, dan putusan akhir. Salah satu putusan sela yang dikenal dalam HIR ialah yang disebut putusan provisional.
Jika dilihat dari sifatnya, putusan dikenal 3 macam, yaitu :
  1. putusan declaratoir. Bersifat menerangkan,menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
  2. putusan constitutif. Putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
  3. putusan condemnatoir. Putusan yang berisi penghukuman.
Dalam hukum acara perdata juga mengenal adanya putusan contradictoir sebagai lawan dari putusan perstek.
Mengenai putusan sela dalam acara perdata ada bermacam-macam, antara lain :
  1. putusan preparatoir. Digunakan untuk mempersiapkan perkara.
  2. putusan insidentil.
  3. putusan provisional. Putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaeadahan salah satu pihak atau kedua belah pihak.
Mengenai isi minimum dan sistematik surat putusan diatur dalam pasal 178, 182, 283, 184 dan 185 HIR.
Pasal 178 HIR menentukan bahwa :
  1. Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencukupkan alasan-alasan hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
  2. Ia berwajib mengadili segala bagian gugatan.
  3. Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau meluluskan lebih dari apa yang digugat.
Putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu diatur dalam pasal 180 (1) HIR dan pasal 191 (1) R.Bg. yang mengatur persoalan yang sama. Pasal 54 RV berbunyi sebagai berikut :
  1. apabila putusan didasarkan atas akta otentik;
  2. apabila putusan didasarkan atas akta di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan, atau yang secara sah dianggap diakui, juga dianggap diaukui apabila perkara diputuskan dengan perstek;
  3. apabila telah ada penghukuman dengan suatu putusan, yang tidak dapat dilawan atau dibandingkan lagi.
Diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk memberi perintah ini dengan atau tanpa jaminan. Dalam pasal 55 RV berbunyi :
Pelaksanaan terlebih dahulu dari putusan-putusan, meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan dengan atau tanpa jaminan, dalam hal :
  1. segala sesuatu yang dikabulkan dengan putusan sementara;
  2. hak milik.
Pelaksanaan putusan hakim pada asasnya sudah mempunya kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan, kecuali apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180 HIR. Perlu juga dikemukan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam dalam pasal 195 sampai dengan 208 HIR. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan mengatur pihak yang kalah untuk dalam delapan hati memenuhi putusan tersebut dengan sukarela. Jika pihak yang dikalahkan itu tidak mau melaksanakan putusan itu dengan sukarela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya dimulai.
Ada tiga macam eksekusi yang dikenal oleh Hukum acara perdata, yaitu :
  1. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 196 HIR dst. Di mana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
  2. Eksekusi sebagaimana diatur dalam pasal 225 HIR di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
  3. Eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR.
Jika sebelumnya belum dilakukan sita jaminan maka eksekusi dimulai dengan menyita sekian banyak barang bergerak, dan apabila diperkirakan masih tidak cukup, maka akan dilakukan juga terhadap barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar sesuai dengan putusan serta biaya-biaya yang timbul sehubngan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan tersebut disebut sita eksekutorial.
Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam sita eksekutorial, yaitu :
  1. sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;
  2. sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya tidak ada sita jaminan.
Perihal Banding
Salah satu upaya hukum yang biasa adaalah banding. Lembaga banding diadakan oleh pembuat Undang-undang, oleh karena dikhawatirkan Hakim yang adalah manusia biasa, membuat kesalahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Oleh Karen itu, dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.
Permohonan banding dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan atau oleh kuasanya, yaitu orang yang telah diberi kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Kuasa tersebut sewaktu mengajukan permohonan banding, harus sudah memilik surat kuasa khusus, dengan lain perkataan tanggal pemberian kuasa khusus itu lebih muda dari tanggal pengajuan permohonan banding, oleh karena kuasa berdasarkan surat kuasa umum. Di kepaniteraan Pengadilan Negeri disediakan suatu register banding, di mana permohonan-permohonan banding dicatat. Pembanding harus menandatangani sehelai akta banding yang juga disediakan oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal pembanding adalah seorang yang buta huruf maka akta banding tersebut harus diberi cap jempol oleh yang bersangkutan. Pasal 11 (3) UU No. 20 tahun 1947 menyebut “surat-surat”. Yang dimaksud adalah memori banding, ialah suatu surat yang berisi alasan-alasan apa sebabnya pembading mengajukan permohonan banding. Memori banding dibuat dengan jelas alasan-alasan pembanding menganggap putusan Pengadilan Negeri tersebut salah. Memori banding dibuat beberapa rangkap dan disusun oleh pengacara atau seorang ahli hukum akan memuat pula dengan cermat bagian mana dari suatu putusan yang dianggap salah dengan disertai alasannya.
Sebagai perlawanan dari memori banding, pihak lawan dapat mengajukan contra memori banding. Contra memori banding ini harus dibuat beberapa rangkap.
Kasasi
Kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi. Dasar hukum kasasi yang dilakukan oleh MA diatur dalam pasal 10 (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970. dalam mengajukan permohonan kasasi setelah mengajukan permohonan, pemohon wajin menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar. Ini diatu dalam pasal 47 (1). Apabila tenggang waktu untuk menyampaikan memori kasasi tersebut lewat, dan pemohon kasasi mengajukan memori kasasinya, meskipun seandainya memori kaskasi sebenarnya sudah lama selesai, maka oleh karena memori kasasi secara terlambat diajukan akibatnya permohonan kasasi itu akan dinyarakan tidak dapat diterima. Dalam hal kasasi ini pihak lawan juga diberikan hak untuk mengajukan jawaban (kontra memori kasasi) terhadap memori kasasi, yang disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang dimaksud pada ayat (1) pasal 47 UU No. 14 tahun 1985 dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi. Pencabutan permohonan kasasi sesuai dengan Pasal 46 (1) UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1986 apabila permohonan kasasi dicabut oleh pemohon, maka kasasi tidak dapat diajukan lagi.
Perlawanan Terhadap Sita Jaminan
Suatu upaya hukum yang bayak menimbulkan masalah dalam praktek pengadilan adalah perlawanan terhadap sita jaminan dan terhadap sita eksekutorial. Dalam pasal 195 (6) dan (7) HIR tersebut di atas mengatur :
  1. perlawanan tehdapa sita eksekutorial;
  2. yang mengajukan oleh yang terkena eksekusi/tersita;
  3. yang diajukan oleh pihak ketiga atas dasar hak milik;
  4. perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi;
  5. adanya kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa/memutuskan perlawanan itu untuk melaporkan atas pemeriksaan/putusan perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan eksekusi.
Sedang pasal 207 dan 208 HIR , mengatur :
  1. cara mengajukan perlawanan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;
  2. kepada siapa atau Ketua Pengadilan Negeri yang di mana, perkara perlawanan itu harus diajukan;
  3. adanya asas bahwa perlawanan tidak menangguhkan eksekusi;
  4. pengecualian terhadap asas tersebut diatas
  5. kemungkinan untuk mengajukan permohonan banding.
Pada umumnya yang dimohon oleh pelawan dalam perlawanannya adalah :
  1. agar dinyatakan bahwa perlawanan tersebut adalah tepat dan beralasan;
  2. agar dinyatakan bahwa pelawan adalah perlawanan yang benar;
  3. agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang bersangkutan diperintahkan untuk diangkat;
  4. agar para terlawan dihukum untuk membayar biaya perkara.
Ada kemungkinan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan negeri terhadap putusan perlawanan, para  terlawan mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi dan kemudian setelah pengadilan tinggi, mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pasal 195 (1) HIR mengatur ketentuan umum, ialah : Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara-perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.
Perlawanan pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi. Terhadap asas tersebut teradapat pengecualiannya. Alasan yang dipergunakan untuk mengajukan perlawanan terhadap sita eksekutorial, ialah :
1.      karena sudah dipenuhi apa yang diputuskan oleh Hakim;
2.      syarat-syarat untuk pensitaan yang ditentukan oleh UU telah tidak diperhatikan;
3.      telah dilakukan pensitaan terhadap hewan dan perkakas yang sunguh-sungguh dibutuhkan oleh tersita.
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Untuk perkara perdata peninjauan kembali semula diatur dalam Reglament op de Burgerllijke Rechtsvordering (RV) yaitu hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan Eropa. Peninjauan kembali ini disebut Request Civiel. Dalam perundang-undangan nasional, istilah peninjauan kembali disebutkan dalam Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur lembaga peninjauan kembali secara terarah dan lengkap
Untuk mengetahui siapa saja yang berhalk mengajukan permohonan peninjauan kembali, dapat dilihat dalam pasal 68 yang berbunyi :
  1. permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
  2. apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Dalam memeriksa dan egadili permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata, maka :
  1. Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau Pengadilan Tingkat Banding untuk melakukan pemeriksaan tambahan, atau minta tambahan keterangan dan pertimbangan dari Pengadilan yang bersangkutan.
  2. Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidik, apabila diperlukan.
  3. Pengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut, segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah Agung.
Akibat hukum yang timbul sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali, diatur dalam pasal 74 yang berbunyi :
  1. Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonana peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa, serta memutus sendiri perkaranya.
  2. Mahkamah Agung akan menolak permohonan peninjauan kembali, yaitu dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan.
Pengaruh Lampau Waktu
Dalam buku keempat BW mengatur tentang kadaluarsa, antara lain :
  1. Yang menyebabkan seseorang dibebaskan hak menuntut seseorang menjadi gugur. Dalam bahasa latinnya disebut Praescriptio, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Extinctieve Verjaring.
  2. Yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak tertentu. Kadaluwarsa ini mengharuskan adanya itikad baik dari orang yang akan memperoleh hak tersebut. Dalam bahasa Latinnya disebut Usucapio, sedang dalam bahasa Belanda disebut Acquisiteve verjaring.
Kadaluwarsa adalah semacam upaya hukum, sehingga tentang adanya kadaluwarsa harus dikemukakan oleh pihak lawan dalam jawabannya.
Apabila dikemukakan eksepsi bahwa hak untuk menuntut telah kadaluarsa, dan alasan tersebut ternyara berdasar, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima. Namun apabila eksepsi tersebut dianggap tidak berdasar, maka eksepsi tersebut akan ditolak dan mengenai pokok perkara akan diputus. Dalam hal yang pertama, putusan yang akan dijatuhkan adalah putusan akhir, sedangkan dalam hal yang kedua yang dijatuhkan berupa putusan sela.
Dalam hukum adat tidak dikenal kadaluwarsa dalam arti hukum barat, yang dasarnya adalah karena lampaunya waktu tertentu ialah 2,5 tahun atau 20 tahun lalu timbul kadaluwarsa, melainkan pengaruh lampau penyebab dalil yang menjadi dasar gugat sesuatu perkara sudah tidak dapat dibuktikan lagi, karena saksi-saksinya kesamuanya telah wafat atau kalaupun mereka masih hidup, mereka sudah jompo atau pikun, sehingga tidak dapat memberi keterangan yang berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

** berkatalah dengan bijak

Shoutbox Chat